Bongpay Cina Tionghua Modern Bahan Granit Dan Marmer
BONGPAY CINA TIONGHOA MODERN BAHAN GRANIT DAN MARMER
Selamat datang di Galleri Marmer Tulungagung layanan marmer online aman murah dan terpercaya. Kami melayani berbagai kerajinan batuan alam granit, marmer dan onyx. Berikut ini merupakan contoh salah satu kerajinan kami yang biasa dipasang pada makam orang china yaitu Bongpay Granit. Kebanyakan orang tionghoa memakai Bongpay Granit ini sebagai penanda makam orang tercinta. Ukuran Bongpay Granit ini bervariasi menyesuaikan permintaan dari customer. Bongpay Granit diatas dibuat oleh pengrajin Bintang Antik Sejahtera, terbuat dari bahan granit blacknero berwarna hitam pekat dengan tambahan vas bunga pada kanan dan kiri Bongpay Granit terlihat semakin mewah. Selain itu Bongpay Granit diatas juga di tambahkan foto Alm dan Almh agar selalu terkenang. Pengerjaan Bongpay Granit diatas di buat dari bahan dompalan, sehingga terlihat tebal dan semakin kokoh. Tulisan pada bongpay kami ukir dengan tehnik pahat manual dan di tambahkan warna gold yang merupakan perpaduan yang sangat cocok. Selain Contoh Bongpay diatas kami juga memiliki beberapa contoh bongpay lainnya dengan bahan yang sama dan ukuran dan model yang berbeda.
Bongpay Granit |
Saya tidak bisa berenang jadi hanya duduk menonton teman-teman sambil menunggui baju mereka. Kadang timbul pikiran iseng”, bagaimana kalau saya sembunyikan pakaian mereka? Dasar saya ini anak baik niat jadi “Jaka Tarub” urung, lagi pula tidak akan mendapatkan bidadari. Arah kuburan mengikuti kemiringan tanah (kiri). Tahun 1980-an saya kembali ke sana mata air ini sudah kering, sehingga saya bisa melihat kedalaman sumur sekira dua meter. Kini sumur itu sudah tidak ada, dipakai kuburan dan ditumbuhi alang-alang di sekitarnya. Ternyata agak selatan dari bekas sumur itu ada babalongan (kolam). Saya melihat beberapa anak sedang memancing. Mungkin ada mata air baru. Beberapa anak sedang memancing. Air mengalir dari mata air baru? Apabila sedang libur panjang, misalnya setelah kenaikan kelas, permainan berganti. Perang buah kayu rapet berhenti karena teman bermain berganti pula dengan tetangga di kampung Jamaras. Liburan diisi dengan main “rorodaan” yaitu naik kereta papan yang menggunakan roda pelor besi (laher). Papan ini bisa dinaiki sendiri atau tandem berdua.
Bongpay Marmer |
Waktu saya terahir ke sana warna merah atapnya kusam dan tidak ada lagi bunyi gemerincing jika anginnya bertiup. Pada masa jayanya, di halaman depan pabrik Okatex yang luas dapat dilihat beberapa ekor menjangan yang dilepas. Suatu pemandangan yang indah waktu itu. Di barat daya pekuburan yang terletak di kampung Jamaras dulu ada sebidang tanah miring yang ditumbuhi rumput. Tanah ini sering dipakai bermain sepak bola, bentuknya tidak persegi panjang, karena ada pekarangan rumah dan kuburan yang menjorok ke lapangan. Lapang miring ini ditandai dengan kuburan yang disebut Bong Beureum (bong berwarna merah). Selain dipakai tempat sepak bola dipakai pula untuk “ngangon munding” (menggembala kerbau). Lapang Miring tidak jauh dari SD tempat saya belajar, sehingga saya pun sering main sepak bola di sana. Alhasil saya pernah merasakan menginjak “ranjau” di lapang itu berupa kotoran kerbau dan manusia yang sudah dingin tapi masih empuk. Tahun 70-an orang masih sering buang hajat di pinggir lapangan dekat Bong Beureum, karena masih banyak keluarga yang belum mempunyai jamban.
Bongpay Granit |
Musuh semuanya menyerah minta ampun, kecuali rajanya ketua murid kelas 6 yang bernama Usep, anak kampung Cicabe. Ia memegang batu-bata duduk di atas pilar pagar kuburan seolah raja yang duduk di atas singgasana tapi sudah terpojok masih pula mencoba menantang, “Sok siah saha nu wani ka aing? Diputuskan perang berakhir dan kami harus kembali ke sekolah, karena sudah terlalu lama berperang. Rupanya kami sudah lama melewati waktu istirahat, maklum waktu itu tidak ada murid yang punya jam tangan. Ketika masuk ke kelas ruangan sunyi, kosong. Ternyata kepala sekolah mengumpulkan murid-murid di kelas lain yang lebih besar. Pada waktu istirahat sekolah, bila tidak main bola atau perang-perangan, kami pergi ke sumur yang berada di tengah komplek pekuburan. Sumur ini diberi pembatas tembok dengan ketinggian dari atas tanah 25 cm. Airnya selalu meluap. Karena mulut sumur cukup lebar bisa dipakai berenang sampai 5 orang anak kecil. Tentu saja gaya yang bisa digunakan di sini adalah “gaya timbul tenggelam”.
Kini lapang miring sudah berganti menjadi pemukiman. Di areal pekuburan banyak ditanam pohon kayu rapet-penduduk di sana waktu itu menyebutnya demikian, ini berbeda dengan kayu rapet dalam literatur obat tradisional-. Getah pohon ini dapat digunakan sebagai perekat. Dari getah pohon ini kami suka membuat tato. Caranya petik sehelai daun lalu pangkal daun yang masih mengeluarkan getah ditorehkan ke lengan. Kemudian taburkan debu tanah pada torehan tadi, maka debu akan tertinggal pada goresan getah. Bijinya tidak bisa dimakan, kami gunakan untuk senjata perang lempar-lemparan. Pada waktu istirahat sekolah seluruh teman laki-laki sekelas dibagi dua kelompok yang seimbang. Masing-masing kelompok punya seorang raja. Peperangan bisa dilakukan di antara dua bong yang berdekatan, namun bila terdesak bisa melarikan diri ke bong lain yang lebih aman. Pada suatu petang ketika waktu istirahat dan saya masih kelas 5 pernah melakukan perang besar melawan gabungan kelas 4 dan kelas 6. Kami berhasil mendesak mereka sampai jauh dari arena peperangan semula hingga perbatasan pekuburan bagian utara.
Sebelah timur laut ada Gunung Palasari dan Manglayang. Nun jauh di sana sebelah selatan terletak Gunung Malabar, dan ke barat laut ada Gunung Burangrang dan Tangkuban Parahu. Kuburan-kuburan menghadap searah dengan aliran air. Jadi kuburan yang berada di atas suatu bukit bisa saja menghadap ke berbagai arah, sesuai kemiringan tanah. Pada waktu saya masih anak-anak Bong Koneng (bong warna kuning) sangat terkenal. Bentuk atapnya seperti payung kembar bersusun dua. Di sana dimakamkan Yo Giok Sie, pendiri sebuah pabrik tekstil besar tidak jauh dari Cikadut. Kuburannya selalu dijaga siang dan malam. Yo Giok Sie meninggal pada tahun 1970-an awal. Masih sekira tahun 1970-an juga era keindahan Bong Koneng berakhir setelah raja tekstil Bandung lainnya dimakamkan di sebelah utara Bong Koneng. Dari cerita waktu saya kecil di sana dimakamkan pendiri pabrik tekstil Okatex yang terletak di Cicadas-Bandung. Ketika masih baru atapnya berwarna merah dan pilar penyangganya dibelit ornamen naga. Jika angin bertiup lonceng kecil yang berada di sungut naga akan berbunyi gemerincing.
Suasana pagi sudah terang dan dari atas bukit kita dapat melihat kota Bandung mulai dari ujung timur hinga ujung barat. Bayangkan kota Bandung sebagai sebuah mangkuk ribuan tahun yang lalu adalah sebuah danau yang luas dan dalam. Saya selalu berharap punya indra keenam agar bisa melihat suasana Danau Bandung dan Gunung Sunda tempo dulu. Ada yang dapat membantu saya? Area Pekuburan Cina ini sangat luas entah berapa hektar. Banyak yang menduga komplek pekuburan ini yang terluas di Indonesia. Dulu pekuburan ini salah satu tempat favorit untuk piknik. Ketika saya masih sekolah di SD beberapa kali piknik bersama guru-guru sambil membawa makanan. Biasanya Bong Koneng menjadi tempat tujuan atau selalu dilewati setiap ada acara piknik ke pekuburan ini. Dalam perjalanan terakhir ke pekuburan Cina Cikadut saya menemukan batu nisan bertuliskan tahun meninggal 1947. Diperkirakan daerah ini mulai dipakai sebagai pemakaman jauh sebelum Indonesia Merdeka. Almarhum kakek saya mengatakan ketika bekerja di Bandung tahun 1920-an, Kuburan Cina Cikadut sudah ada, namun tentu saja belum seluas sekarang. Dulu pengrajin batu nisan kuburan Cina (bongpay) bisa ditemukan di daerah Cidurian, Cimuncang, dan beberapa di Cikadut hingga awal tahun 1990-an. Para perajin batu nisan ini mungkin gulung tikar, karena kesulitan bahan baku batu dan Pekuburan Cina Cikadut pernah dinyatakan tertutup akibat lahannya sudah penuh. Pihak berwenang merekomendasikan area baru di Nagreg. Mungkin untuk menghindari hal-hal yang negatif secara resmi pekuburan ini dinamakan Pekuburan Hindu-Budha seperti yang tertera di plang depan kantor administratur pemakaman. Sekarang hal itu sudah tak perlu dikhawatirkan lagi. Selama inipun orang tetap menyebutnya kuburan Cina. Sayang sekali dalam literatur mengenai Bandung, kawasan ini terabaikan untuk dibahas.
Tanggal 23 Maret 2008 hari Minggu saya pergi ke Pekuburan Cina Cikadut. Sambil menenteng kamera sendirian. Tujuan saya adalah menelusuri kembali tempat main dahulu sewaktu saya masih sekolah di Sekolah Dasar (SD). Ini berarti menggali kenangan lebih dari 30 tahun yang lalu. Saya menempuh SD dari tahun 1972 hingga 1977 di SD Negeri IV Cikadut di Kampung Jamaras tidak jauh dari Pekuburan Cina Cikadut. Sering apabila istirahat atau sepulang sekolah bermain di area pekuburan. Apa yang dilakukan? Bermain kucing-kucingan, ucing sumput, dar-daran, berenang di sumur atau perang kayu rapet. Yang paling menyenangkan bagi saya adalah perang kayu rapet (rapet adalah bahasa Sunda dalam bahasa Indonesia artinya lengket). Pintu gerbang pekuburan ini berupa bangunan tinggi dan memanjang yang disebut los. Dulu apabila ada pemakaman mobil jenasah masuk ke dalam los dan berhenti di sana hingga urusan di kantor pemakaman yang ada di depan los selesai. Sehari-hari di samping los sebelah timur ada juga pedagang.